Rabu, 25 Juni 2008

Krisis Media Dalam Perspektif Konvergensi Telematika: Wacana Media untuk Penyempurnaan UU Pers.

A. Pendahuluan

Mungkin akan timbul suatu pertanyaan kenapa kita perlu memperhatikan penyempurnaan UU Pers dari sudut pandang hukum telematika, karena terkesan hukum telematika hanya akan lebih banyak mengkaji keberadaan segala aspek hukum yang terkait dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika. Tambahan lagi telah banyak pihak yang sudah terlanjur berkonotasi bahwa lingkup pembicaraan hukum telematika adalah identik dengan istilah ”cyber law” hukum yang terkait dengan keberadaan dunia maya ataupun internet. Hal ini tidaklah sepenuhnya benar, karena jika kita cermati lebih dalam justru karena hasil dari perkembangan konvergensi telekomunikasi dan informatika itu sendiri maka belakangan semua orang baru menyadari bahwa telah terlahir suatu media baru yang bersifat multimedia (teks, suara, gambar/grafis, dan film) yang pada akhirnya menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk merenungkan kembali konsepsi hukum tentang informasi dan komunikasi sebagai akar dasar semua perkembangan itu tanpa harus terkunci kepada pembedaan karaktersitik setiap media baik cetak maupun elektronik. Keberadaan jaringan computer global sebagai Jalan Raya Informasi (information superhighway) telah memudarkan garis batas antara media tradisional dengan media komunikasi modern. Hal ini akan sangat baik baik disiplin ilmu hukum itu sendiri agar sistematikanya menjadi lebih tertib dan konsisten dalam memetakan ketentuan-ketentuan hukum media. Ada benang merah yang saling terhubung dengan semua media itu, yakni hukum terhadap informasi dan komunikasi itu sendiri. Bahkan, mungkin saja di belakang hari semua benang merah tersebut dapat dirajut menjadi satu kodifikasi hukum media yang mampu mengakomodir semua karakteristik media yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat melengkapi perspektif hukum yang selama ini telah berkembang dibenak masyarakat.


B. Konsepsi Umum dan Analisa Kritis Media

Sebagai langkah pertama, kita perlu mengkaji kembali istilah Media itu sendiri dan melihat padanannya dengan Pers. Tampaknya sudah menjadi istilah umum bahwa insan pers sering mengidentikan dirinya sebagai Media, sementara istilah Pers itu sendiri sepertinya tidak sebangun atau sepadan dengan istilah Media. Pers mungkin salah satu bagian dari Media tapi Media itu sendiri tidak identik dengan Pers, karena Pers akan berkonotasi kepada aktivitas jurnalistik sementara media adalah wujud penyelenggaraannya sebagai alat sistem komunikasi untuk mendiseminasikan informasi kepada publik.

Dilihat dari asal usul katanya, Media adalah bentuk jamak dari Medium yang berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sesuatu yang berada ditengah-tengah dan/atau sesuatu yang bersifat netral [Webster Dictionary]. Media juga berarti suatu alat penghantar berkomunikasi. Penekanan dari kata Media disini adalah keberadaan obyek, jadi pendekatannya haruslah obyektif bukan subyektif. Sebagai suatu alat maka obyek tentunya tidak akan dapat bertanggung jawab atau dimintakan pertanggung jawabannya sendiri sehingga yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya adalah pihak-pihak yang menyelenggarakan media itu sendiri. Penyelenggara harus menjaga sifat netralitasnya dan mempertanggung jawabkan efek dari komunikasi itu kepada publik baik terhadap kepentingan personal maupun komunal atau bahkan kepada norma masyarakat itu sendiri.

Berbicara tentang Pers, umumnya para pakar komunikasi masa akan merujuk kepada prinsip dasar Hak Azasi Manusia untuk memperoleh informasi dari semua saluran komunikasi yang tersedia dan kemerdekaan mengemukakan pendapat di depan umum. Ada dua hal yang perlu dicatat disini yakni, kebebasan berekspresi itu sendiri dan tindakan mengumumkannya kepada publik. Sebagai pembandingnya, banyak orang yang merujuk kepada First Amendment dalam konstitusi AS dimana Congress tidak boleh membuat hukum untuk menghalangi pelaksanaan hak itu.

Amendment 1: Religious and political freedom:
Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for redress of grievances.

Dari uraian kata-kata tersebut, banyak pihak yang mempersepsikannya sebagai suatu kebebasan yang absolut karena congress yang berwenang membuat hukum itu sendiri saja bahkan tidak diperkenankan oleh konstitusi untuk membatasi kebebasan pers. Sementara, hanya segelintir pakar yang mengemukakan bahwa dalam prakteknya di AS yang perkembangan hukumnya didominasi oleh Jurisprudensi (Judge make law), kebebasan itu kini menjadi tidak absolute lagi sebagaimana dipersepsikan oleh kalangan awam.

Selain akibat multipersepsi atas kata “speech” dan “abridging” itu sendiri, perbedaan pendapat dikalangan para Jurist (judges and scholars) sebenarnyaa juga dikarenakan secara historis kata-kata itu memang merupakan produk politik pada masa itu, dimana ada pertentangan antara Federalist dengan State. Sehingga, semula kata-kata yang diusulkan adalah ”No state shall violate…etc” menjadi ”Congress shall make no law…etc”. Para juris di AS, telah menyadari bahwa legal nature dari kata-kata itu dengan sendirinya adalah menjadi tidak absolute, sehingga dengan sendirinya jurisprudensi lah yang menjadi pembimbing atau pedoman dalam menerapkan ketentuan itu agar menjadi fair bagi semua pihak. Bahkan untuk menentukan tujuan dan fungsinya saja, hal itu baru lebih jelas pada saat Justice Brandeis mengemukakan pendapatnya dalam putusannya pada kasus Whitney vs. California 71 L.Ed.1095, 1105-06 (1927).

Dalam perkembangannya lebih lanjut ternyata freedom of speech dan of the press diturunkan menjadi “expression” dan “action”. Amendement pertama jelas melindungi kebebasan berekspresi tetapi tidak selalu untuk “communicative conduct” sehingga berkembanglah “a hierarchy of protected communicative conduct” dimana tidak semua hal termasuk dalam protected speech. Karenanya berkembanglah apa yang dinamakan sebagai “unprotected class” atau dikenal sebagai “unfree speech” atau komunikasi yang tidak dilindungi oleh amendemen pertama tersebut, antara lain meliputi; fighting words, obscenity, publication of state secrets, incitement to crime, defamation, subliminal communications dan commercial speech. Demikian pula halnya dengan konsep ‘abridgement’ dimana dalam perkembangannya “law” sebagai produk congress jelas tidak mengurangi kewenangan pemerintah untuk memberikan pembatasan dan kejelasan dalam ”regulation” demi untuk melindungi kepentingan publik itu sendiri.

Lebih lanjut, pemikiran tentang access to the channels of communication juga mengakibatkan berkembangnya teori pembedaan atau pengkategorisasian ruang public (public forum) dan ruang private (private forum). Walhasil, para juris telah mengembangkan kerangka berpikirnya untuk melakukan pendekatan prosedural (procedural approaches) dalam menentukan hal-hal apa saja yang dapat dilindungi berdasarkan amandemen pertama itu.

Berdasarkan sejarah dan evolusi yang terjadi di AS tersebut, maka Indonesia sebagai negara yang lebih diwarnai oleh Eropa Kontinental ketimbang Anglosaxon/Common Law, menjadi tidak haram jika mencoba memformulasikan pembatasannya dalam produk legislatifnya (UU). Hal ini adalah karena di Indonesia, UU sebagai produk legislative itulah yang dapat memberikan pedoman awal bagi perkembangan sistem hukum kita. Jurisprudensi nyatanya masih belum berfungsi dengan baik di negara kita untuk memberikan benang merah keadilan dalam perkembangan sistem hukum nasional.

Jadi, hakikinya adalah sama saja baik di AS maupun di Indonesia bahwa kebebasan itu memang tidak pernah absolute. Bahkan, secara hukum fisika saja telah dinyatakan bahwa terhadap suatu aksi tentunya akan terjadi friksi dan hasilnya mengakibatkan suatu reaksi. Meskipun di angkasa, ternyata suatu benda juga tidak pernah lepas dari gaya-gaya yang ada di semesta alam ini. Oleh karena itu, konsep kebebasan tanpa batas jelas akan sangat menyesatkan dan bertentangan dengan hukum alam dan juga pemikiran manusia yang sehat.

Selain itu, sesuai dengan perkembangan wacana negara demokratis, banyak pihak juga akan merujuk kepada pemikiran yang menyatakan bahwa Pers adalah pilar keempat (fourth estate) dalam negara demokrasi. Namun, dalam praktek dan perkembangannya, publik Amerika juga melihat bahwa ini adalah jargon semata karena meskipun pers itu bebas dari kepentingan pemerintahnya ternyata ia tidak bebas dari kepentingan komersialnya dan bahkan para pemilik dan/atau penyelenggara media juga cenderung berselingkuh dengan para politikus dalam menyiarkan suatu informasi kepada publik. Walhasil, wacana tentang eksistensi kebebasan media terlanjur disodorkan kepada publik untuk dilegitimasi kehadirannya tidak lagi sebagai penyaji fakta melainkan juga sebagai pembentuk opini dan disahkan sebagai industri informasi dengan semangat komersialismenya.

Idealnya, dalam suatu negara demokratis yang berdasarkan atas hukum, maka kepentingan hukum masyarakat untuk memperoleh informasi publik (right to know) adalah menjadi prioritas tertinggi. Hal ini menjadi dasar legitimasi bagi semua pihak ingin mencari dan menyampaikannya kepada publik, khususnya kalangan jurnalis yang begitu giat dan gagah berani berupaya mencari fakta/data, mengolahnya menjadi informasi dan/atau berita, dan kemudian disampaikannya kepada masyarakat. Lebih jauh lagi, bahkan hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang diamanatkan oleh hukum kepada mereka.

Sebagai kompensasinya, dalam rangka memenuhi kepentingan hukum masyarakat tersebut maka diperlukan suatu perlindungan hukum bagi para pihak yang jelas-jelas beriktikad baik melaksanakan fungsi itu, khususnya bagi pihak yang secara professional mencarinya dan menyelenggarakan media komunikasinya kepada public. Namun pada sisi yang lain, publik juga perlu mendapatkan perlindungan dari kekotoran ataupun sisi negatif informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, diperlukanlah suatu ketentuan hukum dalam suatu produk legislatif (UU) sebagai kesepakatan public untuk melindungi semua pihak yang terkait dengan itu secara adil. Pada prinsipnya, tanpa terkecuali setiap orang yang bertindak mengungkapkan informasi untuk kepentingan publik tentunya jelas harus dilindungi oleh hukum, terlepas apakah ia jurnalis ataupun tidak. Dalam prakteknya, penerapan hukum itu harus digantungkan kepada Hakim sebagai pejabat penerap keadilan bagi masyarakat agar sesuai dengan lingkup kasus yang ada.

Sesuai dengan sejarahnya, Pers yang lahir dari aktivitas jurnalistik kepentingan hukumnya adalah menginginkan kebebasan untuk memperoleh data dan mengolahnya menjadi suatu informasi serta berhak menyampaikannya kembali (freedom of speech) kepada publik sesuai pendapatnya. Pada satu sisi, sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) telah melindungi keberadaan informasi itu sebagai suatu karya cipta yang harus dilindungi (protected works) demi kepentingan hak moral dan hak ekonomis individu si penciptanya dan melindungi kemerdekaan/kebebasan untuk berekspresi itu sendiri. Namun pada sisi lain, sesuai dengan perspektif hukum komunikasi, si intelektual tersebut seharusnya juga memperhatikan efek atau dampak komunikasi tersebut kepada publik. Oleh karena itu, suatu penyampai informasi selayaknya harus dapat dimintakan pertanggung jawabnya manakala efek komunikasi itu ternyata merugikan atau berpengaruh buruk kepada kepentingan hukum individual manusia (HAM) dan juga kepada norma dan ketertiban masyarakat (protected communication dan protected community). Jadi selain adanya apresiasi yang diberikan oleh hukum ia juga harus mampu mengemban tanggung jawab dari setiap apa yang telah ditimbulkannya.

Singkatnya, penyajian informasi kepada publik diharuskan seobyektif mungkin meskipun secara naturalianya ia tetap bersifat subyektif karena sebenarnya terlahir dari ekspresi ide dari seseorang. Perspektifnya terhadap sesuatu peristiwa tentu akan tetap melekat dalam penyajian informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, suatu berita tidak dapat dikatakan obyektif dari awalnya sehingga dengan sendirinya ia tidak bebas nilai atau tidak bebas dari kepentingan subyektif orang yang menuliskannya. Disinilah netralitas media menjadi sangat relevan untuk menjadi suatu persyaratan hukum (requirement of neutrality). Untuk itu diperlukan suatu standar obyektifitas untuk menentukan apakah ia layak dikatakan sebagai suatu karya jurnalistik. Perlindungan hukum yang diberikan kepada si pencari dan penyampai informasi hanyalah ditujukan bagi setiap pihak yang memang menghargai dan tunduk dengan etika jurnalistik, bukan kepada pihak-pihak yang ”sembarangan” dalam menguntai kata-kata.

Dalam rangka memenuhi nilai-nilai obyektifitas itu, sebagai upaya preventif maka secara prosedural suatu informasi sebelum disampaikan kepada publik, selayaknya secara internal ia perlu diinteraksikan dengan pihak lain dan/atau paling tidak yang bersangkutan dapat menjelaskan dan menjamin bahwa informasi yang diberikannya adalah berdasarkan atas data atau fakta yang diperolehnya secara halal dan benar serta disajikannya secara fair. Disinilah suatu penyelenggara media harus dianggap ikut bertanggung jawab untuk menanggung akibat/dampak penyampaian suatu informasi kepada publik, karena atas kuasanya informasi itu dikomunikasikan kepada publik.

Dari pemaparan tersebut di atas, terlihat jelas perbedaan makna antara Pers dengan Media. Istilah media adalah keberadaan obyek atau alat untuk berkomunikasi yang harus bersifat netral, sementara Pers adalah kegiatan jurnalistik yang kaya akan perspektif-perspektif jurnalisme. Tentunya, yang akan membuat media itu menjadi tidak netral adalah orang yang menyelenggarakannya. Oleh karena itu, wajarlah jika seorang pakar komunikasi Prof Abdul Muis mengingatkan kita bahwa ada dua pendekatan hukum dalam konteks ini yaitu aspek Hukum Media dan aspek Hukum Komunikasi. Namun, menurut hemat saya akan lebih tepat jika kita melihatnya dalam satu kesatuan yakni Hukum Komunikasi. Keberadaan Media sepatutnya adalah bagian yang tidak dipisahkan dari proses komunikasi itu sendiri karena tidak mungkin terjadi suatu komunikasi antara si penyampai informasi (originator) dengan si penerima informasi (recipient) tanpa kehadiran suatu Media. Ringkasnya, kita harus memandang Media itu sendiri sebagai suatu sistem komunikasi yang terpadu dimana obyektifitasnya dan netralitasnya akan ditentukan kepada sejauh mana sistem penyelenggaraannya diselenggarakan dengan baik.

Melengkapi pandangan tersebut, walau bagaimanapun harus diletakkan pemahaman kepada publik bahwa suatu informasi yang merupakan obyek komunikasi tersebut jelas tidak akan lepas dari aliran pandangan si pembuatnya, sehingga pandangan suatu aliran tentunya akan terlihat jelas dari karakteristik informasi yang disajikannya tersebut. Jika si intelektual tersebut beraliran kapitalis maka tentunya ia tidak akan menulis tentang kebaikan aliran sosialis yang berlawanan dengannya, demikian juga sebaliknya. Demikian juga jika si intelektual tersebut ternyata non religius maka ia akan menuliskan bahwa ketentuan keagamaan adalah suatu kemunafikan dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, jelas dirasakan adanya suatu perang informasi terhadap suatu kepentingan, dan demi obyektifitas maka semestinya masyarakat tidak boleh langsung percaya terhadap suatu informasi yang disampaikan oleh satu sumber saja, melainkan juga perlu melihatnya dari banyak sumber. Kebenaran akan dapat terlihat dari apa yang lahir ditengah-tengah pertentangan wacana itu sendiri. Akhirnya, yang menjadi permasalahan disini adalah konflik ideologi antara informasi yang disajikan dengan ideologis bangsanya. Tidak heran jika ada sebagian masyarakat yang ternyata malah menjadi bingung atau bahkan akan marah dengan keberadaan aliran-aliran media itu sendiri.

Lebih lanjut, sesuai dengan perkembangannya maka terbangunlah suatu mekanisme hukum antara publik dengan medianya, dengan cara memberikan kewajiban kepada penyelenggara untuk melayani Hak jawab dan Hak Koreksi dari masyarakat. Namun, hal ini masih dirasakan seperti terlalu mensimplifikasi efek komunikasi yang ditimbulkan kepada kepentingan hukum lain. Sekiranya suatu berita yang menghancurkan nama baik seseorang (character assasination) ternyata berakibat serangan jantung sehingga meninggalnya seseorang, apakah masih relevan Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai upaya pemulihan haknya. Tambahan lagi, dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan bahwa kata-kata bisa lebih tajam dari pedang, sehingga naturalianya efek dari kata-kata akan selalu berbekas dalam hati si penerimanya. Dimaafkan atau tidak itu kembali kepada hak si orang tersebut, yang jelas Hukum tidak dapat memaksakan seseorang harus menerima maaf dari orang lain. Seorang hakim juga sepatutnya juga tidak boleh membatasi hak orang lain untuk harus menjelmakan hak jawab dan hak koreksinya terlebih dahulu, karena hal ini berarti hakim telah berpihak hanya kepada kepentingan si penyelenggara media.

Selain itu, dalam hal penerimaan informasi, umumnya informasi pertama seringkali lebih berbekas ketimbang informasi yang berikutnya. Sehingga terlepas apakah ia langsung percaya atau tidak percaya, yang jelas secara informasi telah berdampak kepada sesorang ”the damage has been done”. Ada suatu ”ruang kerugian” disini yang tidak cukup terjawab hanya dengan hak jawab dan hak koreksi. Sepatutnya, semakin intelektual seseorang jelas akan semakin tinggi pula amanat yang harus diembannya untuk memperhitungkan segala sesuatu yang dapat terjadi dari karya intelektualnya tersebut. Oleh karena itu, pertanggung jawaban bagi seseorang ahli komunikasi masa yang berdasarkan keilmuannya sepatutnya tahu sejauhmana efek dari kata-katanya, jelas juga harus diimbangi dengan beban sanksi yang relatif lebih berat ketimbang orang awam. Jika hal ini tidak ada, maka jelaslah bahwa segelintir orang akan senang mempelintir kata-kata dan mungkin pula akan berakibat timbulnya mafia dalam media.


C. Internet sebagai Media Komunikasi Baru

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, konvergensi TELEMATIKA (Telekomunikasi, Media dan Informatika) mau tidak mau telah mengabsorbsi keberadaan kata Media yang terwujud dalam penyelenggaraan sistem informasi global. Suatu jaringan sistem informasi dan komunikasi yang lahir akibat keterpaduan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah berfungsi sebagaimana sebagaimana layaknya suatu Media komunikasi masa. Hal mana sebelumnya kurang begitu disadari karena semula penerapan teknologi informasi adalah untuk kepentingan personal atau untuk kepentingan internal organisasinya saja. Demikian juga halnya dengan telekomunikasi yang memang semula digunakan hanya untuk kepentingan komunikasi antara para pihak, bukan untuk komunikasi masa. Akhirnya, sekarang kita ternyata tidak dapat mengatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi akan terlepas dalam lingkup kajian hukum media modern dewasa ini.

Dengan melihat kepada platform sistem informasi dan komunikasi elektronik global yang berbasiskan teknologi komputer (computer based information system), maka ada beberapa hal yang perlu dilihat sehubungan dengan komputer sebagai alat pengolah informasi dan alat untuk menyebarkan informasi tersebut. Sistem Komputer pada hakekatnya mempunyai fungsi-fungsi Input, Proses, Output, Strorage dan Communication. Ia juga paling tidak terdiri atas 5 komponen penting, yakni; hardware, software, procedure, brainware dan content dari informasi itu sendiri. Semua komponen itu harus berkerja dengan baik itu dan saling terintegrasi agar dapat melakukan fungsi-fungsi sebagaimana yang diharapkan. Data sebagai input untuk menghasilkan suatu informasi yang berdayaguna ditentukan oleh kehandalan brainware dalam menciptakan procedures yang selanjutnya akan dikonkritkan dengan kehadiran software yang sesuai agar hardware dapat bekerja untuk mengolah dan menampilkan informasi sebagaimana yang ditentukan atau diharapkan.
Selanjutnya agar ia dapat berkomunikasi dengan komputer yang lain, maka ia harus satu bahasa dimana pembangunan jaringan kerjanya adalah harus sesuai dengan protokol komunikasi yang dipakai oleh para pihak, seperti antara lain Electronic Data Interchange/EDI (proprietary system) dan Internet protocol (open system). Dan oleh karena sistem tersebut saling terintegrasi dan terhubung secara online, maka hubungan komunikasinya menjadi bersifat real-time kesemua anggota dan seakan hadir dimana-mana secara ”ubiquotus”.

Sesuai dengan karakteristiknya yang elektronik itu, tampaknya keberadaan suatu sistem informasi sebagai Media berkomunikasi relatif akan lebih mudah diatur ketimbang Pers. Lihat saja pada kenyataan teknisnya bahwa semua anggota jaringannya sepakat untuk menggunakan protokol komunikasi TCP/IP. Semua komputer yang terhubung hanya bisa terhubung dengan aturan komunikasi yang sama dalam lapisan 4 layers. Sebagai suatu sistem informasi jelas ia telah ditetapkan sebagai suatu Media yang netral, sehingga ia dapat ditulisi apa saja oleh pihak pihak yang berkenan untuk itu. Ia dapat ditentukan akan hidup ataukah akan mati tergantung kepada arus listriknya. Keberadaan akses informasinya pun dapat dibatasi atau restriktif berdasarkan otorisasi yang diberikannya dalam network tersebut. Dalam konteks ini, sepanjang memang ada ”political will” untuk itu sepatutnya penyelenggara media akan menjadi relatif lebih mudah untuk diatur.

Ada satu hal yang sangat menarik untuk dilihat dari keberadaan suatu sistem informasi elektronik sebagai suatu Media yakni keberadaan informasi sebagai keluarannya adalah ditentukan kepada sejauhmana sistem security-nya dikembangkan baik secara tehnik, manajemen maupun hukum. Keterpercayaan terhadap isi akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kehandalan dan validitas pemrosesannya yang tercermin dalam keberadaan setiap procedures dan juga softwarenya, serta kejelasan subyek hukum yang bertanggung jawab atasnya. Setelah dapat diyakini bahwa sistem informasi itu layak dipercaya, barulah kita dapat menyatakan bahwa jika memang sistem telah berjalan sebagaimana mestinya maka selayaknya informasinya menjadi layak untuk dipercaya. Dengan sendirinya, jika data yang dimasukkan adalah salah, maka hasil keluarannya juga akan menjadi salah ”Garbage In Garbage Out,” bukan sistemnya lagi yang dipersalahkan (malfunction) melainkan ”human error” manusianya yang mengerjakan sistem itu. Implikasi hukumnya adalah, sepanjang sistem telah dibangun dan diselenggarakan dengan baik (best practices), maka pihak si pengembang dan si penyelenggara berhak mendapatkan perlindungan hukum berupa pembatasan dalam pertanggung jawabannya.

Patut juga dicermati bahwa persyaratan security tersebut adalah berbanding lurus dengan nilai kekuatan pembuktian secara hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa ”no security, no deals”. Hal ini harus menjadi perhatian utama para pihak, karena teoritisnya Internet memang tidak didesain sebagai infrastruktur informasi publik yang secured. Justru kepentingan negara industri itu sendiri lah yang ingin menawarkan dan menumbuhkan jasa security-nya, baik dalam hal penjualan perangkat keras maupun software untuk berjalannya computer security maupun communication security itu sendiri.

Beranalogi dengan hal tersebut, maka jika kita ingin mengatakan Pers adalah suatu Media harus ada suatu standar kelayakan bagi si penyelenggara jasa yang mengkelola Media itu. Ia baru layak dikatakan sebagai suatu Media jika ia telah memenuhi standar tertentu dalam penyelenggaraannya agar lebih jernih dalam merefleksikan kepentingan masyarakat bukan kepentingan si penyelenggaranya. Ia juga dapat membatasi tanggung jawabnya terhadap akibat substansi informasi yang disampaikannya sepanjang ia telah berupaya sebaik mungkin (best practices). Bahkan sekiranya ia telah mengemukakan standar prosedur pengoperasiannya bahwa ia tidak melakukan sensor apapun, tanggung jawab sepenuhnya justru akan kembali kepada si penulis. Dan pihak yang merasa berkeberatan dapat langsung seketika itu juga memasukkan koreksi dan hak jawabnya pada tempat yang sama dengan informasi itu. Disini, para pembaca akan langsung dapat mencerna bahwa informasi itu tengah dipersengketakan validitasnya. Dalam konteks ini, tidak sedetikpun ia akan dirugikan, kecuali atas kelambanannya sendiri dalam merespon suatu informasi.

Sehubungan dengan itu pula, ada juga satu pelajaran hukum yang selayaknya dapat kita ambil dari kasus Napster di Amerika. Meskipun keberadaan situs tersebut sebenarnya hanya sebagai suatu media komunikasi bagi para anggotanya (peer to peer communication) untuk saling bertukar koleksi lagu-lagu yang diperolehnya, namun sekiranya ia bertentangan dengan sistem hukum yang ada khususnya Hak Cipta maka keberadaannya dapat dihentikan (shut-down). Kesalahannya adalah memfasilitasi tukar menukar lagu dimana ia mempunyai model bisnis didalamnya, padahal tanpa harus ia fasilitasi masing-masing orang dapat berkomunikasi secara langsung. Hal ini berakibat bahwa model bisnis napster menjadi sebagaimana layaknya tukang tadah di pasar-pasar gelap. Demi hukum, pengadilan terpaksa harus menghentikannya.

Jika memang Amerika adalah menjadi tolok ukur dalam penegakan freedom of speech di dunia, saya melihat bahwa demi ”kepentingan hukum”, harus tetap ada satu kemungkinan bahwa suatu Media dapat dimungkinkan untuk dihentikan atau ditutup oleh putusan pengadilan jika si penyelenggara media membuat keberadaan Medianya menjadi bertentangan dengan hukum yang ada. Dalam negara demokratis, ini tidaklah salah, karena supremasi hukum adalah hal yang tertinggi, bukan kepentingan bisnis media itu, dan juga bukan didasarkan atas diskresi lembaga eksekutif (pemerintah).

Demi menjaga kepentingan semua pihak maka harus dipahami bahwa sepatutnya asas strict liability juga melekat terhadap informasi itu dan juga pihak manajemen dari organisasi yang melakukan sistem penyelenggaraan Media tersebut. Sepertinya bukan lah suatu hal yang berlebihan sekiranya azas “good governance” juga perlu diterapkan dalam penyelenggaraan Media, paling tidak si penyelenggara harus mengeluarkan “best effort” nya untuk menjaga obyektifitas dan netralitas tersebut.

Oleh karena itu, jika Pers ingin dikatakan berfungsi sebagai media, saya pikir tentunya ia harus berfungsi sebagaimana layaknya sistem informasi elektronik yang didasarkan atas trustworthy suatu proses. Jika memang sistem penyelenggaraan media nya yang sudah tidak mau taat hukum, maka hasil output informasinya tentunya juga akan berhadapan dengan hukum.

Ringkasnya sesuai dengan paradigma sistem informasi, maka paling tidak Pers akan terdiri dari komponen (i) content informasi, (ii) Wartawan dan (iii) prosedur-prosedur dalam Organisasi dan Manajemen Penyelenggara Media itu sendiri. Dalam hal ini, paling tidak dapat dilihat adanya tiga lingkup standar agar membuat sistem pers menjadi sehat, yakni (i) standarisasi brainware/wartawan, (ii) standarisasi karya jurnalistik atau pemberitaan, dan (iii) standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri. Boleh jadi sebagai lingkup yang paling luas, standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri akan mencakup kedua lingkup sebelumnya karena ia akan menentukan standar minimum wartawan yang akan digunakannya dan bagaimana sistem operasi dan prosedur yang dianutnya dalam mengemukakan suatu pemberitaan kepada publik. Semakin tinggi standar yang dianutnya maka semakin tinggi pula validitas pemberitaannya dan relatif semakin aman pula ia dalam melakukan pertanggung jawaban hukumnya.


D. Krisis Media Akibat Perilaku Bermasalah dan Kepentingan Bisnis Media

Ditinjau lebih luas lagi sesuai dengan perspektif ilmu perundang-undangan, mungkin penyebab kenapa kondisi Pers sekarang ini seperti ini adalah juga didasari sejauhmana keefektifan aturan main yang ditetapkan dalam UU Pers. Jika memang mekanismenya adalah sebebas-bebasnya maka insan pers jadi bertindak sebebasnya. Dan sedikit janggal rasanya bahwa pemerintah dinihilkan sama sekali dalam proses penerapannya sementara lembaga pelaksananya Dewan Pers juga tidak mempunyai kekuatan yang dapat memaksa pihak pers untuk bertindak sebagaimana mestinya. Ia hanya merupakan wadah untuk penetapan Kode Etik, alternatif penyelesaian sengketa, serta pengkajian hukum dan kebijakan saja. Sementara pada sisi yang lain, peranan masyarakat juga belum dapat dikatakan cerdas menyikapi segala sesuatu dan mampu berpartisipasi aktif sebagaimana yang diharapkan. Tambahan lagi setiap orang tentunya akan berpikir ulang untuk berhadapan dengan media. Walhasil, akhirnya dijumpai terjadinya premanisme dalam pers, terkadang pers menjadi obyek premanisme namun sering juga ia menjadi subyeknya. Contohnya adalah penyajian informasi entertainment, dimana pers terkesan memaksa untuk memperoleh informasi yang berkenaan dengan privasi seseorang. Pers memang telah begitu galak, bahkan berani masuk ke wilayah-wilayah yang sebenarnya sudah menyentuh batasan harkat dan privacy seseorang. Menghambat jalan seseorang untuk berjalan kemobilnya sendiri demi mendapatkan suatu pemberitaan sudah menjadi pandangan kita sehari-hari yang kita lihat dalam peliputan pemberitaan di TV.

Sebagaimana layaknya para wakil rakyat dalam fungsi legislative, para insan pers juga sangat meyakini dirinya adalah bertindak atas aspiratif rakyat. Namun ada sedikit perbedaan, dimana para wakil rakyat harus berinventasi untuk meraih simpati dan suara rakyat dalam proses pemilihan umum sehingga dapat dikatakan legitimate menyampaikan suara rakyat. Sementara kalangan pers dengan inisiatif sendiri dan dengan dibawah naungan UU Pers dilegitimasikan sebagai aspiratif rakyat tanpa harus ada kejelasan standarisasi profesi kewartawanan yang ketat.

Jika kita membaca informasi yang disampaikan dalam beberapa surat khabar harian yang ternyata berbahasa terlalu berani dalam mengekspose sex dan kekerasan, dan juga berani memberikan tempat untuk iklan yang bernada-nada serupa, mungkin masyarakat juga akan menjadi semakin kebingungan apakah memang hal ini sebenarnya informasi yang dibutuhkannya ataukah memang hal tersebut yang sebenarnya aspiratif rakyat. Sex dan kekerasan memang merupakan fakta hidup, dan juga merupakan informasi yang menarik untuk dibaca, tapi apakah ini aspiratif rakyat atau memang sengaja dicekoki kepada rakyat.

Dalam prakteknya sekarang ini, ada pers yang telah secara elegan menyajikan informasi dan ada juga pers yang justru membuat galau dan resah hati masyarakat. Bagaimana tidak, karena sepertinya memang tidak ada satu tindakan apapun yang dapat dikenakan kepada sebagian insan pers tersebut. Siapa yang dapat menyadarkan kalangan pers untuk secara jernih memandang apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan ini. Apakah memang ”kemerdekaan pers” diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batasan normatif. Bahkan akibat pendapat yang mengatakan bahwa semestinya UU Pers adalah lex specialis dengan berbagai macam alasan, KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara, dalam UU Pers ketentuan pidana dirasakan tidak begitu berimbang. Barang siapa yang menghalangi pers harus dipidana penjara dan denda, sementara pers hanya dipidana denda saja. Lantas bagaimana halnya dengan insan pers yang ternyata mengganggu hak orang lain, apakah memang sudah ada dalam UU Pers ataukah memang hal seperti itu sepatutnya tidak masuk dalam lingkup UU Pers. Jadi, apakah UU Pers telah cukup mengatur semua tindak pidana yang mungkin terkait dengan Pers.

Selain itu, dalam hubungan kerja antara Wartawan sebagai profesi, apakah ia telah cukup dilindungi karena kenyataannya ia adalah buruh dari suatu perusahaan pers, dimana status kewartawanannya sangat tergantung oleh perusahaan itu. Apakah ada sanksi bagi perusahaan pers yang tidak memberikan bagian sahamnya kepada karyawan dan apakah wartawan telah mendapatkan bagian yang layak terhadap keuntungan perusahaan.

Seiring dengan era reformasi untuk mengarah kepada perbaikan di segala bidang, kalangan pers telah memperoleh kelonggaran yang dicita-citakannya untuk memperoleh informasi namun ternyata bukan kemerdekaannya dalam arti yang hakiki. Dulu Pers begitu dikekang oleh pemerintah dan sekarang begitu merdekanya tanpa ada kebutuhan untuk mendapatkan pembinaan atau pengawasan dari pemerintah lagi. Semua seakan sepakat bahwa pengawasan pers adalah langsung dari rakyat, sementara masyrakatnya saja tidak semuanya dapat bernasib baik mengenyam pendidikan sehingga belum dapat secara kritis mengkontrol pers. Apalagi dalam kenyataan hidup ini, tak ada orang yang hidup tanpa salah dan dosa, sementara pers jelas dapat mengkemukakan semua salah dan dosa seseorang sesuai agenda dan kepentingannya. Sehingga akankah ada anggota masyarakat biasa yang akan berani berhadapan dengan pers? Semua tentunya akan berpikir dua kali.

Walhasil sepertinya kita memang harus duduk kembali untuk membicarakan hal ini, apakah UU Pers memang sudah efektif menyelesaikan perilaku bermasalah. Dulu pemerintah yang membuat masalah, sekarang justru Pers sendiri yang sekarang menjadi sumber dari perilaku bermasalah terhadap kemerdekaan pers itu sendiri. Sudah layakkah pers dikatakan sebagai media jika ia tidak menjelmakan upaya terbaiknya untuk bersifat netral dan obyektif.

Dari berbagai pemaparan di atas, paling tidak kita dapat melihat adanya krisis dalam dunia media yang mungkin akan mencakup seluruh komponennya, antara lain;
o Krisis perilaku insan media dalam mencari berita, membuat sumber ataupun obyek informasi menjadi tidak berharkat atau terganggu privasinya;
o Krisis substansi media, mengungkapkan informasi tanpa etika dan standar jurnalistik;
o Krisis komitmen untuk menjalankan seluruh fungsi media yang diamanatkan oleh UU;
o Krisis komitmen untuk cita-cita reformasi, khususnya untuk ikut memajukan pendidikan, karena tidak ada jamina bahwa semua media telah menjalankan fungsi pendidikannya dengan baik;
o Krisis standar penyelenggaraan manajemen suatu Media;
o Krisis masyarakatnya yang terkesan kurang begitu kritis dan agresif dalam menyikapi suatu pemberitaan.

Dipandang dari sisi bisnis, karena informasi adalah suatu komoditi yang merupakan kebutuhan hidup masyarakat informasi, maka bisnis untuk menjadi penyedia informasi adalah peluang bisnis yang cukup menggiurkan. Hal ini tentunya menjadi suatu ancaman tersendiri bagi pengharagaan akan nilai-nilai “kemerdekaan pers” terutama nilai-nilai netralitas dan obyektifitas itu sendiri. Sejauhmana kepentingan pemodal tidak akan mengendalikan kepentingan media itu sendiri. Padahal sudah pasti bahwa si Pengurus adalah bertugas untuk menjaga kepentingan si pemodal yang ingin memperoleh keuntungan dari bisnis itu.

Adalah suatu hal yang sangat lumrah dalam hukum investasi, bahwa konsekwensi dari adanya suatu investasi adalah adanya kendali dalam perusahaan itu. Dari sisi pemodal tentunya akan menjadi sangat begitu indah jika informasi yang disampaikan adalah sesuai dengan kepentingannya dan dapat menaikkan tiras atau oplahnya di masyarakat dan memberikan tempat yang cukup ditakuti oleh penyelenggara negara. Dari sisi si pemilik media mungkin jelas ia merasa berhak untuk bisa menampilkan dirinya dalam satu halaman penuh dari sekian banyak halaman yang dikelolanya, tapi demi obyektifitas dan netralitas media, apakah hal itu dapat dikatakan etis ataukah tidak? Karena walau bagaimanapun, si penyelenggara media sepatutnya memperlihat upaya yang semaksimal mungkin untuk tidak memperlihatkan kepentingannya pribadi dalam media yang dikelolanya itu. Dan jika kita berbicara tentang etis, apakah pelanggaran terhadap hal itu ada sanksinya dari kalangan masyarakatnya. Demikian pula jika ada hukumnya apakah ada sanksi hukumnya? Jika ternyata tidak, saya pikir ini merupakan indikasi ketidak netralan itu, dan berarti Pers tidak layak untuk disebut Media.


E. Penutup

Sesuai dengan kepentingan publik dalam Negara Demokrasi, maka dalam lingkup media komunikasi paling tidak terlihat beberapa kepentingan hukum yang dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut;

Intelektual
(Jurnalis professional) Penyelenggara Media
(Investor/
Pengusaha) Masyarakat
(kolektif) Individual (anggota masyarakat) Penyelenggara Negara
• Karya intelektual
• Obyektifitas Karya jurnalistik
• Kemerdekaan Berekspresi
• Obyektifitas dan Netralitas
• Tanggung jawab penyelenggaraan Media yang baik (good information governance)
• Tidak menjadi suatu alat yang bertentangan dengan hukum dan perasaan keadilan serta norma masyarakat
• Mencari profit untuk usaha • Hak mengetahui masyarakat atas sistem penyelenggaraan negara yang baik
• Hak masyarakat atas ketertiban umum dan perasaan aman
• Hak masyarakat atas peradaban yang sesuai etika dan dinamika kebudayaan
• Hak atas kebebasan berinformasi dan berkomunikasi
• Hak atas privasi
• Hak untuk tidak menjadi obyek penelitian dan pemberitaan • Kegiatan yang baik dan bertanggung jawab untuk memberikan kontrol ataupun feedback kepada pemerintah
• Kewajiban memberikan informasi publik dan kerahasiaan informasi untuk kepentingan publik.

Setelah mencermati, apakah itu Media, apakah itu Pers dan bagaimana kelayakannya. Jika memang Pers memang tidak mempunyai suatu prosedur untuk memperlihatkan kelayakannya, rasanya sulit mengatakan bahwa Pers adalah suatu media. Patut diacungkan jempol bagi insan Pers yang sadar akan apa konsekwensi dari penggunaan kata Media itu, dimana sebagai penyelenggara Media mereka berupaya untuk mengembangkan sistem operasi dan prosedur didalam manajemen penyelenggaraannya agar informasi yang disampaikannya terjamin obyetifitasnya dan validitasnya. Tetapi sangat disayangkan akibat ada sebagian Pers yang berperilaku buruk dan tak ada mekanisme yang dapat menghentikannya secara self-regulation-regime atau komunitas pers sekan lepas tanggung jawab dan tidak dapat memberhentikannya lewat mekanisme komunalnya, maka Pers sepertinya kurang mendapat simpati rakyat. Akibatnya seorang idealis pers boleh jadi malah terjerat hukum sementara seorang komersialis pers malah terlindungi dengan baik. Cukup ironis sekali.

Berkenaan dengan UU Pers yang menjelaskan ada fungsi-fungsi dalam media, sepatutnya ada mekanisme kontrol yang harus memaksakan perusahaan pers untuk menjalankan ke semua fungsi media itu. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah suatu media yang orang-orangnya tidak perduli dengan hukum dan tidak mau terikat kepada suatu etika jurnalistik akan dibiarkan terus sehingga membuat kebingungan bagi masyarakat tentang etika pers dan medianya.

Semua orang tentunya akan sepakat bahwa media masa adalah backbone dari penyelenggaraan negara yang baik. Sesuai dengan perpesktif fourth estate yang meletakkan Media setara dengan Pemerintah, maka logikanya jika memang ada hukum untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang baik, sepatutnya juga ada standar dalam menyelenggarakan sistem media yang baik. Sehingga akan sangat adil bagi semua pihak, dan refleksi yang dihasilkan oleh pers untuk demokrasi tentunya juga akan menjadi semakin jernih dan netral untuk kepentingan kita semua, serta Pers dapat lebih mencitrakan diri dalam harkat dan martabatnya sebagai honorable profession ditengah masyarakat.

Jika kita semua memang ingin ada ”trust” oleh masyarakat kepada pelaku media, jangan biarkan mekanisme itu terjadi tanpa prosedur yang kuat. Security untuk mendapatkan trust memang harus dibangun dengan cara best effort, dengan kata lain harus ada standar untuk good information governance dalam media, hal itulah yang akan dapat membatasi tanggung jawab bagi segenap insan media. Semuanya ini dikembalikan kepada kesadaran dan semangat kita semua untuk menyelamatkan karakteristik bangsa ini di masa depan.

Akhirnya, diharapkan bahwa UU sebagai pedoman sikap tindak Pers dan Masyarakatnya dapat melindungi kepentingan pada idealis media masa yang berupaya sekuat mungkin untuk menyajikan informasi yang baik kepada masyarakat dan juga bisa menghentikan orang-orang dan media yang tidak bertanggung jawab kepada masyarakat. Mudah-mudahan harkat dan martabat serta budaya masyarakat tidak terpuruk hanya karena kepentingan segelintir kapitalis media. Jika memang benar-benar kita ingin menyelamatkan para idealis media, maka tidak ada kata lain kita harus mau membuka diri bahwa demi kepentingan hukum harus diperkenankan bahwa suatu media yang bertentangan dengan hukum harus dapat dihentikan ataupun ditutup agar tidak mengkontaminasi publik.
Oleh: Edmon Makarim

Sumber: Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi - FHUI

Media Massa, Pemerintah dan Humas

Media massa sering dikatakan memiliki peran sebagai "anjing penjaga" dan berdiri di sisi yang berlawanan dengan pemerintah. Salah satu manfaat utama pers yang bebas dalam sistem demokrasi sering dinyatakan dengan kewajiban untuk menyediakan informasi pada masyarakat mengenai kinerja pemerintah.

Tetapi, sukar ditemukan alasan yang mendasari pers sebagai "anjing penjaga" kinerja pemerintah. Istilah tersebut mengesankan bahwa pers telah menjadi perwakilan dari rakyat untuk 'menjaga' dan 'memerhatikan' kinerja pemerintah. Dengan asumsi itu, pemerintah terkesan selalu salah, sementara pers selalu benar. Pers pun memandang bahwa institusinya berdedikasi tinggi apabila sukses memperlihatkan 'kegagalan' pemerintah. Dengan senang hati, pers memublikasikan informasi yang bisa meningkatkan oplah, mengisi komersial slot tanpa khawatir bahwa yang dipublikasikan dapat berdampak buruk pada masyarakat. Kenyataannya, pers pada umumnya adalah institusi swasta yang berorientasi pada laba.

Pers itu bebas, termasuk untuk berpihak. Contohnya, sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah atau mungkin menentang kebijakan lainnya. Atau bisa saja bersikap mendua terhadap suatu kebijakan, kadang bersikap pro dan kadang bersikap kontra. Sebuah media massa bisa menentukan diri sebagai lawan pemerintah, atau sebagai 'pengawal' kebijakan pemerintah. Sebuah media massa dapat mengritisi dan menentukan bagaimana suatu kebijakan menjadi kesalahan. Media massa dapat bertindak sebagai "anjing penjaga" atau "senjata" untuk mendukung atau sebaliknya menyerang pemerintah.

Suara pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur media. Pernyataan pemerintah segera ditanggapi dalam tajuk rencana yang menginterpretasikan apa yang 'sebenarnya' dikatakan oleh pejabat tersebut dan apa yang 'sebenarnya' dimaksudkan. Sayangnya, kadang interpretasi tersebut cenderung premature dan instant. Analisis instan segera menjadi bias instan. Distorsi kerap terjadi hingga menyesatkan masyarakat. Hal-hal demikian berdampak negatif pada pemberitaan mengenai pemerintah.

Benarkah pemerintah membutuhkan pers sebagai kanal informasi untuk masyarakat? Benarkah pemerintah tanpa pers benar-benar tidak berdaya untuk menyosialisasikan kebijakan dan pelayanan publik? Benarkah hubungan yang terjalin antara media massa swasta dan pemerintah layak dijalankan meskipun ada kemungkinan besar terjadi pengemasan berita yang bias hingga mengarah pada runtuhnya kepercayaan masyarakat?

Kenyataannya, banyak jurnalis bergantung pada aparat pemerintah untuk pemberitaan. Faktanya, semua informasi yang diberitakan oleh media massa tentang pemerintah didapat dari (bahkan divalidasi oleh) pejabat pemerintah, termasuk mengenai event-event nasional, kecuali bila mereka mendapat informasi dari sumber berita otoritas berwenang. Secara tradisional, jurnalis tergantung serta harus bekerja sama dangan sumber resmi pemerintah. Pemerintah memberikan respons dengan menyediakan informasi yang padat dan seimbang, undangan untuk berpartisipasi pada berbagai kegiatan, bahkan menyediakan 'tunjangan' demi menghindari publikasi negatif. Ungkapan "WTS" (Wartawan Tanpa Surat Kabar), Wartawan CNN (Wartawan Cuma Nanya-nanya) pun tetap populer di kalangan jurnalis yang sering mencari berita di instansi-instansi pemerintah.

Agar masyarakat menerima informasi yang jernih dan berimbang, pemerintah harus lebih melibatkan diri dalam dunia media massa.



Peran Humas

Pemerintah saat ini telah memiliki kapasitas untuk mengungkapkan informasi secara langsung. Kembalinya Departemen Penerangan dengan kemasan baru, kehadiran beragam situs resmi instansi pemerintah yang telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah, kehadiran puluhan media massa internal pemerintah serta beragam jurnal menunjukkan kemampuan pemerintah menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Dhus, pemerintah sebaiknya mulai mengurangi peran instansi swasta dalam pemberian informasi.

Hampir seluruh instansi pemerintah memiliki kantor humas, divisi yang melakukan manajemen media massa, pembangun citra, jembatan pemerintah dengan masyarakat, serta penghubung pemerintah dengan pers. Kantor humas telah melakukan publikasi internal, memberdayakan kantor-kantor wilayah serta unit pelayanan teknis agar berperan sebagai outlet informasi. Pejabat humas pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan bersaing dengan editor institusi swasta, khususnya dalam uji kompetensi. Tetapi, citra pegawai negeri sipil selama ini selalu dianggap korup dan terlalu santai. Kesan negatif pun telanjur menancap di benak masyarakat kita. Citra warisan yang telah berumur puluhan tahun yang semestinya diubah.

Sebelum bola reformasi bergulir, pemerintah memiliki imej sebagai manipulator informasi. Bahkan setelah reformasi, imej ini tidak banyak berubah. Pemerintah seolah dianggap 'musuh' yang harus dilawan. Dengan bergulirnya reformasi, pemerintah menransformasikan diri agar menjadi pemerintahan yang bersih dan benar.

Masyarakat telah memahami hak-haknya yang sekaligus juga menjadi kewajiban pemerintah. Dalam bidang pelayanan publik, masyarakat menuntut sistem pemerintahan yang bersih dan transparan. Masyarakat berhak atas akses informasi, sebaliknya pemerintah wajib menjamin akses tersebut terjaga dan terkontrol agar tidak menimbulkan ekses negatif akibat eksploitasi pemberitaan yang bombastis. Karena, pada akhirnya rakyat juga yang dirugikan.

Wajah aparat birokrasi kita yang memang carut-marut sudah saatnya diperhatikan melalui perbaikan gaji sekaligus perbaikan kinerja dengan terus meningkatkan citra pegawai negeri dan membangun sistem yang transparan. Tentu implementasinya tidaklah mudah karena tradisi yang tercipta selama puluhan tahun.

Seiring dengan perubahan menuju tatanan baru demokrasi, reformasi segala bidang termasuk di dalamnya reformasi performa pegawai negeri, sistem kehumasan serta sistem hubungan dengan media massa, maka memberdayakan divisi humas untuk mengubah citra aparat birokrasi agar lebih tanggap menyikapi fenomena masyarakat, sangat penting. Perkembangan teknologi informasi menuntut divisi humas dituntut lebih responsif terhadap keluhan masyarakat.

Bahwa institusi pemerintah tidaklah seburuk yang disangka dan pegawai negeri adalah juga rakyat Indonesia. Seyogianya kantor-kantor humas memang harus diberdayakan untuk menjaga nama baik aparat pemerintah serta menjalin kerja sama dengan pers agar tercipta pemberitaan yang berimbang, bermanfaat, dan bertanggung jawab. ***



Oleh: Fatma Puspita Sari, pegawai negeri sipil, alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Massa,
Fakultas Sospol Universitas Sebelas Maret Solo.
Sumber: Suara Karya Online

Senin, 09 Juni 2008

Blog, Non Simply Diary Online [in] Internet

( Voice Independence Sunday – Rubric of Konek 5 Februari 2006

Last year [is] special year to world of blog. Rain or shine which generate controversy [in] internet born from named website with blog. Appearance various the controversy exactly progressively generate keingintahuan of civil consumer whereof which [is] in fact meant with Blog
Still do remember with photo case engineer president with one of [the] artist in Indonesia? The occurence have time to make a owner of blog of Yogyakarta interrogate by Polda DIY. Its Section [of] engineering photo which have time to be attached in its property blog [is] considered to be worthless form to president.
Though finally the case assumed to finish, but this matter have time to jiggle world of blog Indonesia. Even in meeting [among/between] President with Indonesia society [in] Bangkok, have time to be expressed [by] question related to the case from one of the participant nicknamed as Mr. Blog Indonesia. President [reply/ answer] wisely and more is suggesting [of] Police to advise owner of the blog than litigating [him/ it].

With existence of occurence, many civil society later;then ask around whereof which [is] in fact meant with Blog? Do [is] equal to situs-situs exist in internet and [is] oftentimes used [by] for the sake of wrong?
Blog or of Weblog virtual only representing one of [the] form of website, what also can be seen by using browser web in general. Initially blog estimated will only become a tren, but finally round into a separate culture among consumer of internet. Cultural to write down various note [in] internet to be showed to public [is] in the reality taken a fancy to by many youngster even old fellow. Not merely just junior high school student, but also professor which [is] storey;level pendidikan [him/it] more than mean.
To the number of amount of consumer of blog without recognizing age definition and this profession one of them because of growing of the amount of penyedia of service of blog [in] internet. Besides a lot have the character of free of charge, generally operational of blog enough easy to. You needn't make website desain alone because altogether have been provided by penyedia of service. Various example [of] of desain can be selected as according to desire. While to write in blog, have been provided [by] facility which generally enough [is] easy to used. Even if needed, You earn to enhance photo and or address of internet other in note which You make the. The activity can be [done/conducted] without having to know Ianguage of pemrograman any. All consumer which [do] not understand pemrograman of internet even if earn easily exploit this service.

Penyebab lainnya adalah kemampuan blog dalam menjembatani komunikasi antara pemilik dan pengunjung. Pengunjung blog dapat memberikan komentar balik, sanggahan, ataupun catatan tambahan di dalam blog yang Anda tulis. Semakin banyak komentar dari pengunjung, blog tersebut akan semakin populer. Hal ini menciptakan sensasi tersendiri bagi pemiliknya maupun pengunjung yang memberikan catatan ke dalam blog tersebut. Bahkan seringkali komunikasi ini dapat menghasilkan hubungan pertemanan di antara keduanya meskipun belum pernah bertemu secara nyata.
Maka tak heran, banyak situs mulai membuka layanan blog baru untuk ikut menjaring pangsa pasar yang diperkirakan akan selalu meningkat. Di Indonesia, Indosiar dan Boleh.com juga terjun ke dunia ini. Untuk menarik minat para pelanggannya, Indosiar bahkan menggelar jumpa fans di beberapa kota, termasuk Jawa Tengah, dengan mengundang tokoh blog dari Indonesia. Bahkan pada tahun ini pula, Blog Awards 2006 siap dikompetisikan untuk pengguna Blog di Indosiar. Ini membuktikan meningkatnya minat pengguna blog berusaha diimbangi oleh penyedia layanan.

New Idea

To most circle of ABG, blog oftentimes only functioning as publicized online diary [in] internet. Differ from conventional diary which [is] its contents exactly [do] not be opened generically, [all] owner of blog exactly wish others to know written to matters [it]. Article and [his/its] comments in blog they [do] not far shift from adolescent everyday life. So also commentss which come into their blog. For them, all important [is] can braid its communications with [all] its friend [in] illusory world.
But to more adult circle, blog also become place of merefeksikan x'self. Though some people x'self refleksi kadangkala laid open redundantly in blog, but not rarely opinion, idea, or new ideas [is] exactly created to [pass/through] this media. Because free in character, owner of blog can lay open various its opinion. Comment and expostulation of visitor of blog oftentimes earn owner menstimulasi to be more sharply its opinion. Various voiced opinion will progressively more unique and more intelligent in its expression. According to Rebecca Blood, this matter can become separate [soul/ head] therapy to owner and visitor of blog.

Through media of blog this also oftentimes earn You find various expostulation of statement some expert [in] mass media. If the expostulations can be read by pertinent expert, it is of course will progressively improve energy analyse and resolving to a[n problem.
But tidy otherwise prudently, comments in blog will become a bitter pill to others. This matter cause negative view appearance [at] usage of blog. Though frankly blog alone is not negative matter.
Even to some people, blog can improve zest of life. Because awaiting others give expostulation and comment [at] keesokan of [his/its] day and also fill again article in blog [is] piquancy for many owner of blog.
“ Blog can my menstimulasi when awaking up morning”, word of Rebecca Blood in its interview with David Weinberger which [is] publication in its it[him]

Penyedia Service of Blog
If enthusiastic You to try service of blog, You earn to register x'self to some penyedia of service of blog free of charge. But in chosening blog, there are some factor able to be made upon which consideration, for example [is] speed access making You and visitor of difficulty [do] not in accessing the blog. Besides, to the number of choice in the case of appearance desain also require to be made [by] consideration [so that/ to be] Your blog always draw to be visited. And which [do] not less important, the blog have to easy to to be used. While other additional fitur can be made as one of [the] supporter of decision of You.
Some penyedia of service of blog free earn You find [in] Friendster ( friendsterblogs.friendster.com), Microsoft Network ( spaces.msn.com), Google Blogger ( www.blogger.com), Yahoo! ( 360.yahoo.com), Blogspot ( www.blogspot.com), Multiply ( multiply.com), and still many again. While service of blog being based on in Indonesia can find [in] Indosiar situs ( and blog.indosiar.com) of situs Boleh.Com ( blog.boleh.com).
But to which have owned server web alone, You earn installation of blog alone by using existing software package, for example Movable Type, Wordpress, and Textpattern. Third [of] software to develop;build the the blog can didownload [pass/through] www.movabletype.org, www.wordpress.org, and www.textpattern.com. Compared to two other software, Wordpress can be told more pre-eminent because free of charge, source open, and can walk [in] various platform. Comparison of fitur [among/between] third software [is] you Can see to [pass/through]

Get Your Bonus CamStudio Here

Outsource Content Writing

This has become popular. Successful bloggers are not building one
blog. They are building a network of blogs. We call it a Blog Empire!
We do not write the content ourselves. We outsource the content
writing. We do, however, tell the writers what to write and what not
to write. We do, as well, edit the content to add in some passion and
personalization. With the right outsourcing, we are able to manage
not one, but more than 30 blogs at one time, and still have time to
research and develop new blogs!
Now I have pointed out 4 things that will not work and 6 things that
will work very well in 2007, and there are a lot of hints in the words.
Thing changes, accept the change. Implement the change and ride the
trend. If you follow the above suggestions, you have all it takes to
make money blogging with Adsense in 2007!

What Works:

1)Content is King

It is still the King in 2007. In fact, original content has become more
and more important. Sites that do not have good amount of unique
content will be weeded out slowly, not only by Google, but by the
whole blogosphere. Would you rather bookmark and revisit a blog
with full unique, useful content or a blog with duplicated junky
content? Or a blog that simply spreads affiliate links on all possible
words? The answer is clear, Content Is Still The King In 2007!

2)Theme-based Blog

This is the next big thing that is going to hit the market in 2007. Last
year, we have seen many successful implementations of such kinds of
blogs. Instead of simply a blog, or a collection of daily musings, many
blogs are setup to closely focus around a theme. For example, if you
are writing about gardening, what you need to do with your blog is to
have a comprehensive, closely focused content about gardening, and
only gardening. Forget about setting up a pond in your garden. Forget
about the benefits of practicing Tai Ji in the garden. Focus on
“gardening”.

3)Niche In A Niche

Gardening is a niche. Bonsai gardening is a niche in a niche. If you
plan to start a blog in 2007, you need to consider setting up the blog
within a niche, not on a niche. The competition has been furious.
Most popular niches have already been filled. Now, people are
moving into niche in a niche. It is a race on who gets to root into a
niche first and establish a name. So, try to think if there is a niche in a
niche that complements your current venture. You might want to
start a launch into a niche in a niche.

4)Contextual Link Exchange

This will rock 2007! Many services have been setup for this purpose.
Contextual link exchange happens this way: You are writing about
Bonsai gardening. You see someone else writing about Bonsai
gardening. You write about that blog and give a link to it. You then
email the blogger about the link, and ask if he will review your blog
and give you a link back on his blog. Both of you are talking about
bonsai gardening. Both of you write a post and give a link to each
other. It is so natural that Google is going to put weight on this type of
linking. Contextual Link Exchange will stay in 2007.

5)Video Blogs

Yeah, this is going to rock 2007 as well. If you are setting up a blog,
and you want heavy amount of targeted visitors, use video. Write
some content and capture some videos. Post the video on YouTube,
Google Video and every place that allows video. Embed the video in
your blog. If you do it correctly and frequently, you can gather a mass
of loyal repeat visitors. You can also get links easily. Video is one of
the easiest way to link bait! This will help you build up your ranks in
Google and give you even more free traffic from the search engines.
Try to use as much video as possible in your blog, because this will be
the trend for 2007!

To help you get started with video, I am giving away a free bonus,
called CamStudio. This software is used widely by internet marketers
and bloggers alike to create on-screen video. You can use it to create
tutorials or anything you like. It records into .AVI format, and you can
convert it into .SWF format right from the recorder itself. Then you
can embed into your blog or post it on YouTube and Google Video.

What It Takes To Make Money Blogging With

2006 has seen many extraordinary changes in the blogosphere as well
as Adsense. More and more people are entering the world of blogging,
and many of them are putting their hands on Google Adsense to
generate a part-time income.
Some of them made it successfully and become full-time blogger.
They are able to climb to the top of the Adsense ladder and cash their
tens-of-thousands checks, laughing all the way to the bank, while
others are still scratching their head in dismay trying to figure out
what went wrong.
This special report is written specifically to outline what works and
what doesn’t. Without further ado, let’s get started.

What Doesn’t Work:

1)Duplicated Content

It surprises me when I receive emails asking me where to scrap
content to make money from Adsense. Don’t waste your time. Google
is penalizing on duplicated content. If your blog is filled with content
copied from article directories or free-to-copy articles, you will end up
in the recycle bin of not only Google Search Engine, but the mind of
blogosphere. It is so easy to detect a piece of duplicated content.
Don’t use them unless they are really that good that you need to let

your readers read. If you currently run a blog full of duplicated
content, consider dumping it if it is not making you money. If it is
making you money, it won’t be long. You have to insert unique
content into the blog to save it from being swept.

2)Merely A Diary

If your blog is merely a diary without a theme, it can be hard to make
money from Adsense. You can make much more if your blog is closely
focused upon a theme. If you are planning to start a blog in 2007 for
the purpose of cashing with Adsense, forget about a diary. The ads
appearing on a diary cannot be well targeted. People will not click if
there is no relevancy of the ads to the content. People are hungry for
information, especially information that solves their problem,
provides convenience or provides entertainment. Think of a creative
theme and rock on it, just not a simple diary.
3) High Paying Adsense Keywords
The hype is still around. People are spending thousands of dollars
acquiring high paying adsense keywords. They are near to nonexistent.
Google has smart pricing that rules in the favor of the
advertisers. Google has never disclosed how many percent of revenue
it is going to share with you. If you found a keyword that advertisers
are paying $25 per click, it is unlikely that you will earn $12 a click on
that keyword. In fact, it is suggested that you steer away from the
keywords appearing in any suggested high paying keyword list when
you are first starting out. They do not pay what you think they will
pay, but the competition is stiff. You might not even get a click at all,
so why bother spending a whole 120 pages blog on the keyword?

4)Blind link exchange

Till these days, I still receive emails requesting a “blind” link
exchange. I am always happy to get a request about link exchange, but
when I look at the proposed link, it has nothing to do with my theme!
I am writing about gardening and someone send an email asking for
link exchange with his blog about Car’s Performance! Blind link
exchange will not work. In fact, it is rumored that blind link exchange
will not make but break your blog. You cannot control who is linking
to you, but you have absolute choice on who you want to link to. If
you link to spam blogs, called splogs, Google might think you have
problem distinguishing what’s good and what’s not and penalize on
you for that. Be careful on the link you are sending out.

Minggu, 08 Juni 2008

Google search products

Google search products

Alerts
Get email updates on the topics of your choice

Blog Search
Find blogs on your favorite topics

Book Search
Search the full text of books

Catalogs
Search and browse mail-order catalogs

Checkout
Complete online purchases more quickly and securely

Desktop
Search and personalize your computer

Directory
Browse the web by topic

Earth
Explore the world from your PC

Finance
Business info, news, and interactive charts

iGoogle
Add news, games and more to the Google homepage

Images
Search for images on the web

Maps
View maps and get directions

News - now with archive search!
Search thousands of news stories

Notebook
Clip and collect information as you surf the web

Patent Search
Search the full text of US Patents

Product Search
Search for stuff to buy

Scholar
Search scholarly papers

Specialized Searches
Search within specific topics

Toolbar
Add a search box to your browser

Video
Search for videos on Google Video and YouTube

Web Search
Search over billions of web pages

Web Search Features
Find movies, music, stocks, books, and more

important things to write ad killer

Important things to write ad killer

    1. create a compelling, “must get more information” headline first
    2. stay away from using CAPS or BOLD CAPS
    3. write your copy in an enticing fashion
    4. write your copy so each point flows smoothly to the next
    5. save all the good sales letters you come across and thow away those that scream hype.
    6. Once you have sales, request testimonial. place them into your copy
    7. this is extremely important. Your copy must be free of errors
    8. writing effective copy doesn’t happen the first time you attempt to write it
    9. keep your sentences and paragraphs as short as possible
    10. never get caught up writing about the features of your offer
    11. when you’re writing, include the words “you” and “your” as often as you can
    12. always give your contact information
    13. add free bonuses
    14. remove skepticism
    15. establish a control

the risk if you smoke

the risk if you smoke

you will lose a lot money if you smoke, illustration if you smoke one pack of cigarettes a day at $2.00 per pack, you spend $730 per year. If your habit has continued for a period of 20 years you will have spent an incredible $14,600! If you smoke two packs for that same period of time, you will spend $29,200!

You will be twelve times more likely to die from lung cancer. ten times more likely to die from some form of lung disease. ten times more likely to die from cancer of the larynx. six times more likely to die of heart disease. twice as likely to die of a stroke.

not only for your health, you also help your friends and human around you to die, yes you help them to die faster

Alien Shooter Game overview

sigma-team.net - Alien Shooter Game overview

The endless darkness and the somber, long passages of a military complex have become the abode of evil, as thousands of blood-thirsty creatures fill its offices, storehouses and mysterious laboratories.

Your mission is simple: clear the base at all costs. You will be provided with explosives to help you gain access to the teleporters from which pour thousands of pitiless creatures. A stationary gun will aid in the defense of the area. You have been granted access to the most advanced weapons technology money can buy. As you earn your pay, you can equip yourself additional weapons in the arming area and biomechanical implants that will make your fighting abilities super human.

The alien invasion has begun, we have one chance, and that is to stop them cold in their staging area. Do not allow them the escape this facility, you are our last hope. The fate of humanity now depends on you!

Titanium dioxide to degrade pentachlorophenol

Titanium dioxide to degrade pentachlorophenol,Pentachlorophenol is a phenolic compound that was chlorinated. Pentachlorophenol very toxic for our breath, cause dermatitis on skin and more toxic than inorganic solvent.


Pentachlorophenol waste almost dissolvable in water so degradation process is very hard. Some ways have been done to solve biological waste problem, but not efficient enough. For example, active carbon just involve pollutant absorption without decomposition process. Chemical oxidation process can’t decomposition all of organic compound be carbon dioxide and water, and have been used in high concentration waste.


Many century ago, scientist success to describe phenomenon photocatalytic in surface of metal-oxide semiconductor. Firstly, have been issued by Renz in 1921 until 1960, and not responding by scientist. Photocatalytic semiconductor popularity increase since publication Akira Fujishima in Nature magazine was issued in 1972. He was reported decomposition water be oxygen and hydrogen used single crystal TiO2 with input UV light in low energy.


First research, TiO2 have been used as photocatalytic suspension system. Nowadays, the uses TiO2 as photocatalytic is used in thin plate shape, which is immobilization TiO2 to many kinds of supported material like fiber, glass, silica, and titanium plat.

how to make our body more health and energizer?

This several exercises and meditation help to improve your health, more energizer, more focus and more happy, fell free to do it everyday


Stand erect barefooted, relax your fingers, exhale gently, then bow forward with feet straight, touch your toes with your fingers, maintain this for a few seconds. Then inhale while returning to the standing position with arms raised as high as you can, continue your move until your body is bent backward. Then exhale while returning your fingers to your toes. Maintain this for a few seconds, inhale, and so on .... repeat seven (7) times


Relax your head, neck and shoulder muscles. Slowly rotate your head 3600 clockwise while inhaling. Hold your breath for a while, again rotate your head clockwise while exhaling. Repeat twice. Do the whole process but move your head counterclockwise, three times.


Stand straight, arms raised and outstretched to your sides. Rotate your body clockwise 3600 with eyes stay open while inhaling. When returning to your starting position, hold your breath, focus your sight forward, then repeat the rotation while exhaling. Do this five times, then repeat the whole process counterclockwise five times.


Stand straight, arms raised and outstretched to your sides. Inhale, hold, then exhale while moving your body so that your right hand is touching your left foot. Hold this position for a while, then return to your starting (standing) position while inhaling, hold, then exhale while moving your body so that your left hand is touching your right foot. Do this seven cycles.


Sit on the floor and cross your legs, spine erect, palms on your lap facing down humbs touching forefingers, eyes closed. breath naturally through your noseThen inhale for five counts, hold for five counts and exhale also for five counts. Then breath normally for a while before repeating the inhale, hold, exhale cycle. Do 25 cycles.


lay on the floor, spine erect, palms on your lap facing down, eyes closed. breath naturally through your nose, attention to the breath, do about 5 minutes


Do meditation, and visualize you are on forest complete with trees, animals and rivers etc, do about 10 minutes